SELAWATAN "ANGGUK RAME"

Posted on | Senin, 20 Desember 2010 | No Comments


http://kbmwbu.jawatengah.go.id/img/wisata/14003659.jpgSelawatan "Angguk Rame" adalah nama sebuah kelompok seni yang bernafaskan Islam dan spriritualitas kejawen. Kelompok selawatan ini, tentu saja setelah menelusuri berbagai wilayah di Lereng Merapi, hanya ada di Desa Batur Ngisor, Ngargomulyo, Dukun, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Keberadaannya pun sampai saat ini belum tercium media. Keistimewaan kelompok seni ini pun belum terpublikasi di media manapun. 

Selawatan "Angguk Rame" sangat berbeda dengan kelompok seni selawatan lain. Tampilan Selawatan Angguk Rame tetap klasik dan - lebih mengejutkan lagi - penggunaan tribahasa, yaitu: Belanda, Arab dan Jawa. Penulis pertama-tama tidak percaya ketika mendapat informasi bahwa Selawatan "Angguk Rame" ini juga menggunakan Bahasa Belanda.

Pada sebuah kesempatan Gelar Budaya Lereng Merapi Mei 2008, penulis hadir dan menikmatinya. Penulis terperanjat sekaligus heran dengan kenyataan yang ada. Sungguh, kelompok seni Selawatan " Angguk Rame" tampil dengan tiga bahasa: Belanda, Arab dan Jawa.

Keistimewaan

Selawatan memiliki kata dasar selawat yang berarti doa, permohonan kepada Tuhan dan salat. Selawatan sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pembacaan selawat oleh sekumpulan orang secara bersama-sama serta bersambut-sambutan dan biasanya diiringi pukulan rebana dan alat musik setempat. Merujuk pada pengertian ini maka Selawatan "Angguk Rame" terwakili. Meski demikian, Selawatan "Angguk Rame" tidak seperti selawatan pada umumnya karena memiliki keistimewaan tersendiri.


The image “http://kbmwbu.jawatengah.go.id/img/wisata/14003639.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.


Pertama, erat berkaitan dengan jenisnya. Selawatan pada umumnya dibedakan menjadi Selawatan Janenan, Selawatan Jawi dan Selawatan Kompang. Selawatan Janenan yaitu selawatan yang memakai bahasa setempat. Selawatan Jawi yaitu selawatan yang memakai teks Bahasa Jawa dengan iringan rebana dan beberapa alat musik setempat. Sedangkan Selawatan Kompang yaitu selawatan yang memakai teks Bahasa Arab dengan iringan rebana. Uniknya, Selawatan "Angguk Rame" memakai tiga bahasa sekaligus: Bahasa Arab, Jawa dan Belanda. Keberadaannya yang demikian ini menarik untuk ditelaah secara historis. Pada telusur sejarah dan genealogi penulis telah menyediakan pembahasan khusus.

Kedua, kostum yang tetap klasik. Sejauh penulis cermati, kostum yang dikenakan para pemain tampak beda dan unik. Jenis kostum ini jarang ditemukan di kelompok-kelompok kesenian lainnya di wilayah Lereng Gunung Merapi. Justru kalau penulis kaitkan dengan sedikit masuk dunia keraton, pakaian kostum yang mereka ini malah menyerupai para prajurit keraton Yogyakarta. Meski terkesan klasik, semangat modern muncul juga dalam bentuk kacamata hitam dan sepatu. Mereka ini dulu tampil tanpa kacamata dan sepatu. Kata "Angguk Rame" berarti mengangguk ramai, serempak dan dinamis.

Telusur Jejak Sejarah

Mengapa Selawatan "Angguk Rame" tampil dengan tribahasa? Untuk menjawabi persoalan ini secara tuntas bukan pekerjaan yang mudah karena keeksisan Selawatan "Angguk Rame"nya sendiri sampai saat ini pertama-tama karena regenerasi dengan tradisi lisan. Dokumen dan catatan sejarah pun lantas kabur.

The image “http://kbmwbu.jawatengah.go.id/img/wisata/14003651.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.

Seingat Bapak Alirejo Singkur (53), pimpinan Selawatan "Angguk Rame", selawatan ini diperkirakan ada sebelum tahun 1930-an. Ketika ditanya bagaimana proses terbentuknya, ia tidak bisa menjawab. "Kami hanya belajar dari orang dulu secara otodidak," jawabnya pasrah. Karena kesulitan genealogi semacam ini, maka penulis berusaha merekonstruksi sejarah dari berbagai sumber.

Pada abad 17 Masehi tepatnya tahun 1601 datanglah kerajaan Hindia Belanda ke daerah Nusantara melalui VOC. Pada periode kedua (1816-1949) Belanda kembali menduduki Nusantara. Menarik bahwa dalam catatan sejarah disebutkan berdasarkan Wet houdende decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch-Indiƫ (Decentralisatie Wet 1903), maka pemerintahan di Jawa terbagi atas Gewest (Karesidenan), Afdeeling atau Regentschap (Kabupaten), District atau Stadgemeente (Kotapraja) dan Onderdistrict (Kecamatan).

Pemerintah Belanda mulai memberi perhatian khusus untuk daerah-daerah. Secara khusus di wilayah Lereng Gunung Merapi ternyata pemerintah Belanda memberi perhatian khusus baik pada lingkungan maupun budayanya. Pemerintah Belanda pada tahun 1912 mengeluarkan kebijakan pengelolaan dan pelestarian lingkungan serta seni budaya yang berada di kawasan Lereng Merapi.

Setelah melihat catatan historis dan setelah mempertimbangkan ingatan Bapak Alirejo Singkur, maka penulis berkesimpulan bahwa pengaruh ke-Belanda-an pada Selawatan "Angguk Rame" dimulai saat masa kekuasaan Belanda kedua (1816-1949). Pengaruh konkret masih bisa dinikmati pada pertunjukan Selawatan "Angguk Rame" yang berupa perintah-perintah militer untuk kelompok seni ini dengan menggunakan Bahasa Belanda.

Menurut perkiraan penulis, penggunaan Bahasa Belanda ini dimaksudkan untuk mengambil hati para serdadu dan kroni-kroni Belanda yang juga ikut menikmatinya. Kalau sebelumnya selawatan ini hanya menggunakan Bahasa Arab dan Jawa, pada masa kekuasaan Belanda kedua ini bertambah dengan Bahasa Belanda. Keberadaan Bahasa Arab dan Jawa dalam selawatan tidak begitu menjadi soal karena secara historis sudah mulai ada sejak abad XIII ketika Wali Songo menggunakan pendekatan seni dan budaya untuk dakwah dan penyebaran agama Islam.

Hal lain yang masih diingat Bapak Alirejo Singkur yaitu fakta bahwa ia generasi kelima. Generasi sebelumnya yang dia ingat hanyalah generasi yang ke-4 yaitu Mbah Prenjak dari Dusun Ndeles karena ia belajar secara intensif padanya. Dusun Ndeles adalah nama sebuah dusun di Lereng Merapi yang kini telah menjadi hutan lebat. Penduduk dusun ini telah diungsikan secara massal (bedol deso) ke Lampung karena Letusan Gunung Merapi pada tahun 1930-an. 

Makna Utama adalah Doa

Selawatan "Angguk Rame" tampil dalam semangat doa bernafaskan ajaran-ajaran Islam. Para pemain melakukan aksi yang tidak mudah yaitu menyanyi, menari dan memainkan rebana atau 'terbang' alias lompat. Inilah keunikan lain dari Selawatan "Angguk Rame".

Kalau selawatan pada umumnya menyanyikan syair-syair Islami diiringi rebana, kelompok ini harus melakukan tiga hal yaitu menyanyi, menari dan memainkan rebana atau 'terbang'.

Bagi para pemain yang berjumlah 12 orang dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang biasa disebut mukdin, gerak, kidung (tembang) dan irama tabuhan rebana yang dinamis merupakan wujud doa. Maka tidak mengherankan bagi mereka, menari, menyanyi dan memukul rebana adalah berdoa. Dalam tubuh yang bergerak, mulut yang berkidung dan tangan yang bertabuh, hati terarah pada Allah.

*Gendhotwukir, Penyair dan Jurnalis dari Komunitas Merapi. Ia pernah mengenyam pendidikan di Philosophisch - Theologische Hochschule Sankt Augustin, Jerman.

Sumber: Radio Ranesi Hilversum - Belanda



Share

print halaman iniPrint halaman ini

Baca Juga Ini





Comments

Silahkan tuliskan komentar atau pertanyaan anda...!!!

Search

Pilih Bahasa

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Berlangganan

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner


subscribe

Komunitas

Blog Info



Free Page Rank Tool
IP
free counters