Selamat Hari IBU

Posted on | Selasa, 21 Desember 2010 | No Comments



Ibu!
Bu, hari ini adalah Hari Ibu sedunia. Di sini, orang-orang amat gembira memperingatinya. Mereka memberi hadiah dan memeluk ibunya. Ada juga yang mengajak ibunya jalan-jalan atau shopping di mall. Ada juga yang mengajak ibunya ke restoran makan-makan sambil bergurau. Mereka sungguh bahagia kelihatannya, Bu!


Selamat Hari Ibu, Ibu!
Engkau adalah ibu sekaligus malaikat buat kami, anak-anakmu. Engkau mengandungkan kami dalam masa sembilan bulan. Waktu yang cukup lama membawa kami ke mana kakimu melangkah. Engkau tidak mengeluh berapa beratnya. Engkau tidak memaki-maki ketika kami menendang-nendang dalam perutmu. Engkau malah mengelus-elus perutmu dengan belaian tangan kasih sayang sambil berkata dengan senyuman, "Cup! Cup! Cup! Jangan nakal, Nak! Semoga engkau tumbuh menjadi anak yang sholeh atau sholeha, kelak!"


Ya, Tuhan! Begitu mulianya ibuku.
Ibu, pernahkah kau merasa letih ketika kamu lahir ke dunia ini? Engkau harus menyusui kami dengan air susumu sendri. Ya, kami memakan dan meminum yang menjadi sesuatu milik tubuhmu. Ketika kami menangis, sekali lagi, kau menyuguhkan ASI-mu dengan, walaupun putingnya sudah perih. Yang ada di pikiranmu hanya untuk membuat kami berhenti menangis. Walau nyamuk menggigiti tubuhmu, kau menahan kesakitan itu. Kau tidak bergeming, lantaran takut kami akan terjaga dan menangis lagi. Ibu, berapa banyakkah darahmu yang telah kau sumbangkan secara percuma kepada nyamuk-nyamuk yang tidak mengenal belas kasihan itu? Tidakkah kau pernah berpikir kalau nyamuk-nyamuk itu, bisa saja menjadi perantara untuk melayangkan nyawamu? Adakah kau sama sekali tidak memikirkan itu lagi, karena kami semata, anakmu?


Ibu, selamat Hari Ibu!
Tidakkah kau ingin berhenti sejenak mangasuh kami? Pura-pura tidak memperhatikan kami. Adakah telingamu tidak penuh untuk mendengar tangisan dan segala permintaan kami? Adakah tangan-tanganmu tidak merasa letih untuk menyuapi, memandikan, memakaikan bedak, baju dan celana pada kami? Matamu sentiasa memperhatikan kami ke mana kami merangkak atau berlari terbirit-birit. Kau pun ikut menjadi anak kecil untuk menemani anakmu bermain. Kau melantunkan kata-kata yang tidak jelas agar kami tergelitik dan tertawa. Kemudian, kau pun ikut tertawa. Kau membentuk wajahmu seperti babi atau kera agar kami bisa tersenyum. Lalu, kau pun tersenyum juga. Ah, Ibu! Pernahkah kau berpikir kalau hal itu amat konyol, Ibu!


Selamat Hari Ibu ya, Bu!
Kini, anakmu sudah remaja. Sudah pandai berjalan sendiri. Tangan-tangannya sudah mahir melakukan, termasuk apa yang telah kau lakukan untuknya, dulu. Bibirnya sudah fasih melafaz kata dan berbicara.

Kini, kau pula berharap agar anakmu itu bisa membantumu di dapur. Sesekali mencuci piring atau menyapu. Tetapi, anak remajamu malah mengacuhkanmu, Ibu! Mereka hanya sibuk dengan urusannya sendri. Sibuk dengan sekolahnya. Sibuk dengan teman-temannya. Sibuk dengan kegiatan-kegiatannya. Yang katanya, lebih penting dari semua yang ibu harapkan itu. Pokoknya sibuk, Ibu! Melebihi sibuknya seorang President.

Lalu, mengapa engkau tidak bersuara? Engkau tidak membentak atau memarahi kami? Malah, engkau menyediakan kami makanan di meja makan. Walaupun engkau masih ingin tidur, kau paksakan diri bangun untuk menyiapkan kami sarapan. Bahkan, kau mencucikan juga baju-baju kotor di kamar. Dimalam hari, engkau memperhatikan keadaan kami. Engkau bertanya, adakah kamu letih dengan kesibukan itu? Tetapi, kami anak-anakmu, tidak pernah bertanya sebaliknya padamu, Ibu! Ibu, tidakkah kau bosan dengan semua itu?


Sekali lagi, selamat Hari Ibu, Ibu!
Kini, waktu telah membawa ayunan langkah kaki anakmu pada usia dewasa. Kami sudah bisa mandiri. Sudah bekerja dengan pakaian yang indah, cantik, seragam atau berdasi dengan penghasilannya yang cukup lumayan. Dalam beberapa bulan sudah bisa membeli sesuatu yang mahal. Sesuatu yang diidam-idamkan selama ini. Pernahkah kami terpikirkan untuk membantu beban di pundakmu? Pernahkah kamu terpikirkan untuk membiayai sekolah adik atau perbelanjaan rumah? pernahkah, Ibu?
Kami hanya sibuk memikirkan diri-sendiri. Menabung sebanyak-banyaknya agar bisa juga berkeluarga. Ketika kau terjepit dengan keadaan, lantas kau meminta bantuan kami, malah kami memberi jawaban yang sinis, "Ini hasil jerih payahku, Bu! Ibu tidak berhak ikut campur!"

Kami pura-pura tidak tahu kalau saat itu, ibu cepat-cepat memalingkan muka untuk menyembunyikan air mata yang mengambang. Lalu, beberapa menit, engkau melakonkan lagi posisimu sebagai seorang ibu yang penuh kasih sayang, Seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
Seperti itukah anak yang kau harapkan? Anak yang tidak pandai memandang ke belakang. Anak yang tidak mengerti arti mata seorang ibu. Tetapi, kenapa kau tidak mengingatkan kami, kalau apa yang kami dapatkan hari ini adalah dari ibu juga? Kenapa ibu tidak meminta balasan tentang hal itu? Tidakkah kau pernah sama sekali menyesal mati-matian membiayai sekolah kami tinggi-tinggi? Hingga bisa bekerja dengan pangkat yang cukup lumayan gajinya. Adakah karena kasih sayang seorang ibu tidak meminta balasan atau tidak mengharapkan imbalan? Ah, Ibu! Mengapa engkau begitu polos, lugu dan naif?


Ibu, selamat Hari Ibu ya!
Kini, waktu sudah memakan usiamu. Rambutmu sudah beruban. Gigimu pun satu-satu menghilang. Matamu sudah rabun. Telingamu pun sudah mulai bermasalah. Punggungmu sudah bongkok. Sudah saatnya anakmu menjagamu dengan baik. Mengapa engkau masih sudi tinggal di gubuk reyotmu itu? Tidakkah kau pernah merasa letih untuk menjaga dirimu sendiri? Dengan badan tuamu itu, kamu masih rajin mengerjakan pekerjaanmu, dulu. Mencuci, memasak dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang memakan cukup banyak tenaga.

Tidakkah kau berkeinginan untuk tinggal bersama dengan anak-anakmu yang mempunyai rumah bertingkat itu? Segala pekerjaan disiapkan oleh pembantu. Hanya makan, minum, tidur dan menonton TV pekerjaan penghuninya setiap hari. Menu hidangan yang mewah-mewah. Kamar-kamar ber-AC, spring bed yang empuk yang cocok dengan tubuh tuamu, kamar mandi yang canggih, serta perlengkapan-perlengkapan lainnya. Ibu, tidakkah kau memimpikan hal-hal semacam itu di usia tuamu ini?

"Berat rasanya meninggalkan rumah. Karena di sinilah kenanganku bersama dengan anak-anak terjalin indah. Tempat kami bergurau dan tertawa bersama. Tempat kami merasakan arti kasih sayang. Tempat kami menyadari kalau kami saling membutuhkan. Aku ingin mengabadikan kenangan itu di sini," begitu biasanya kau menjawab pertanyaan tetanggamu.
Padahal, jauh di lubuk hatimu, engkau menangis. Sebenarnya, anak-anakmu tidak pernah mempelawamu ke rumah bak Villa itu. Bahkan, menjengukmu pun tidak sama sekali. Malah, anak-anakmu ingin memasukkan kamu ke tempat Orang Tua Jompo. Katanya, penjagaan di sana lebih baik. Padahal, itu hanyalah alasan untuk menghindari gunjingan tetangga.


Selamat Hari Ibu, Ibu!
Disaat-saat menyakitkan itu, di bibirmu yang mulai kering dan keriput itu, masih saja selalu terukir senyuman. Siapa pun yang melihatnya, pasti akan berpikir kalau ibu sangat bahagia. Bahkan, do'a-do'amu yang tulus dan ikhlas masih saja kau panjatkan untuk anak-anakmu itu. Anak yang sama sekali tidak memperdulikan dirimu yang sudah rentah itu. Anak yang hanya sibuk men-Tuhankan istri atau suaminya.
Ah, Ibu! Adakah benar kalau engkau adalah manusia biasa? Tidakkah kau merasa bahwa engkau adalah malaikat?


Selamat Hari Ibu, Ibu!


Share

print halaman iniPrint halaman ini

Baca Juga Ini





Comments

Silahkan tuliskan komentar atau pertanyaan anda...!!!

Search

Pilih Bahasa

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Berlangganan

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner


subscribe

Komunitas

Blog Info



Free Page Rank Tool
IP
free counters