Pengertian Pura Bagi Masyarakat Bali

Posted on | Senin, 20 Desember 2010 | No Comments

Pura seperti halnya meru atau candi (dalam pengertian peninggalan purbakala kini di Jawa) merupakan simbol dari kosmos atau alam sorga (kahyangan), seperti pula diungkapkan oleh Dr. Soekmono (1974: 242) pada akhir kesimpulan disertasinya yang menyatakan bahwa candi bukanlah sebagai makam, maka terbukalah suatu perspektif baru yang menempatkan candi dalam kedudukan yang semestinya (sebagai tempat pemujaan/pura). Secara sinkronis candi tidak lagi terpencil dari hasil-hasil seni bangunan lainnya yang sejenis dan sejaman, dan secara diakronis candi tidak lagi berdiri di luar garis rangkaian sejarah kebudayaan Indonesia. Kesimpulan Soekmono ini tentunya telah menghapus pandangan yang keliru selama ini yang memandang bahwa candi di Jawa ataupun pura di Bali sebagai tempat pemakaman para raja, melainkan sebagian pura di Bali adalah tempat suci untuk memuja leluhur yang sangat berjasa yang kini umum disebut padharman. Untuk mendukung bahwa pura atau tempat pemujaan adalah replika kahyangan dapat dilihat dari bentuk (struktur), relief, gambar dan ornament dari sebuah pura atau candi. Pada bangunan suci seperti candi di Jawa kita menyaksikan semua gambar, relief atau hiasannya menggambarkan mahluk-mahluk sorga, seperti arca-arca devatà, vahana devatà, pohon-pohon sorga (parijata, dan lain-lain), juga mahluk-mahluk suci seperti Vidàdhara-Vidyàdharì dan Kinara-Kinarì, yakni seniman sorga, dan lain-lain.
Sorga atau kahyangan digambarkan berada di puncak gunung Mahameru, oleh karena itu gambaran candi atau pura merupakan replika dari gunung Mahameru tersebut. penelitian Soekmono maupun tulian Drs. Sudiman tentang candi Lorojongrang (1969: 26) memperkuat keyakinan ini. Berbagai sumber ajaran Hindu sejak kitab suci Veda sampai susastra Hindu mengungkapkan tentang kahyangan, pura atau mandira, untuk itu kami kutipkan penjelasan tentang hal tersebut, di antaranya sebagai berikut:

Pràsàdaý yacchiva úaktyàtmakaý tacchaktyantaiá syàdvisudhàdyaistu tatvaiá, úaivì mùrtiá khalu devàlayàkhyetyasmàd dhyeyà prathamaý càbhipùjyà. Ìúànaúivagurudevapaddhati, III.12.16.
(Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Úiva dan Úakti dan Kekuatan/Prinsip Dasar dan segala Menifestasi atau Wujud-Nya, dari element hakekat yang pokok, Påthivì  sampai kepada Úakti-Nya. Wujud konkrit (materi) Sang Hyang Úiva merupakan sthana Sang Hyang Vidhi. Hendaknya seseorang melakukan permenungan dan memuja-Nya)

Di samping hal tersebut, dengan memperhatikan pula praktek upacara yang masih tetap hidup dan terpelihara di Bali maupun di India, yakni pada saat menjelang upacara piodalan (di India disebut abhiseka), para devatà dimohon turun ke bumi, di Bali disebut “nuntun atau nedunang Ida Bhaþþàra, di India disebut avahana, sampai upacara persembahyangan dan mengembalikannya kembali ke kahyangan sthana-Nya yang abadi menunjukkan bahwa pura adalah replika dari kahyangan atau sorga.

Demikian pula bila kita melihat struktur halaman pura menunjukkan bahwa pura adalah juga melambangkan alam kosmos, jaba pisan adalah alam bhumi (bhùrloka), jaba tengah adalah bhuvaáloka dan jeroan adalah svaáloka atau sorga. Khusus pura Besakih secara keseluruhan melambangkan saptaloka (luhuring ambal-ambal) dan saptapatala (soring ambal-ambal).

Tidak sembarangan tempat dapat dijadikan tempat untuk membangun pura, dalam tradisi Bali (termuat dalam beberapa lontar) menyatakan tanah yang layak dipakai adalah tanah yang berbau harum, yang “gingsih”dan tidak berbau busuk, sedangkan tempat-tempoat yang ideal untuk membangun pura, adalah seperti disebutkan pada kutipan dari Bhaviûya Puràóa dan Båhat Saýhità, yang secara sederhana disebut sebagai “hyang-hyangning sàgara-giri”, atau “sàgara-giri adumukha”, tempatnya tentu sangat indah disamping vibbrasi kesucian memancar pada lokasi yang ideal tersebut.

Istilah pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua. Pada mulanya istilah pura yang berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya kata pura untuk menamai tempat suci/tempat pemujaan dipergunakanlah kata kahyangan atau hyang. Pada jaman Bali Kuna dan merupakan data tertua ditemui di Bali, disebutkan di dalamn prasasti Sukawana A I tahun 882 M (Goris, 1964: 56).
Di dalam prasasti Turunyan A I th. 891 M ada disebutkan…………………… ……….sanghyang di Turuñan” yang artinya “tempat suci di Turunyan”. Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A ( tanpa tahun ) disebutkan pemujaan kepada Hyang Karimama, Hyang Api dan Hyang Tanda yang artinya tempat suci untuk dewa Karimama, tempat suci untuk dewa api dan tempat suci untuk dewa Tanda.

Prasasti-prasasti tersebut diatas adalah prasasti Bali Kuna yang memakai bahasa Bali Kuna tipe “Yumu pakatahu” yang berhubungan dengan keraton Bali Kuna di Singhamandawa. Pada abad ke X masuklah bahasa Jawa Kuna ke Bali ditandai oleh perkawinan raja putri Mahendradata dari Jawa Timur dengan raja Bali Dharma Udayana. Sejak itu prasasti – prasasti memakai bahasa Jawa Kuna dan juga kesusastraan-kesusastraan mulai memakai bahasa Jawa Kuna. Dalam periode pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019-1042M) datanglah Mpu Ràjakåta yang menjabat Senapati i Kuturandari Jawa Timur ke Bali dan pada waktu itu yang memerintah di Bali adalah raja Marakata yaitu adik dari Airlangga. Beliaulah mengajarkan membuat “parhyangan atau kahyangan dewa ” di Bali, membawa cara membuat tempat pemujaan dewa seperti di Jawa Timur, sebagaimana disebutkan di dalam rontal Usana Dewa. Kedatangan Mpu Kuturan di Bali membawa perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali.

Mpu Kuturan mengajarkan membuat pura Sad Kahyangan Jagat Bali, membuat kahyangan pura Caturlokapàla dan Kahyangan Rwabhineda di Bali. Beliau juga memperbesar pura Besakih dan mendirikan palinggih meru, gedong dan lain-lainnya. Pada masing masing desa Pakraman dibangun Kahyangan Tiga. Selain beliau mengajarkan membuat kahyangan secara pisik, juga beliau mengajarkan pembuatannya secara spiritual misalnya: jenis-jenis upacara, jenis-jenis pedagingan palinggih dan sebagainya se bagaimana di uraikan didalam lontar Devatàttwa.

Pada jaman Bali Kuna, dalam arti sebelum kedatangan dinasti Dalem di Bali, istana-isatana raja disebut karaton atau kadaton. Demikianlah rontal Usaha Bali menyebutkan “……Úrì Danawaràja akadatwan ing Balingkang……..”. Memang ada kata pura dijumpai di dalam prasasti Bali Kuna tetapi kata pura itu belum berarti tempat suci melainkan berarti kotaatau pasar, seperti kata wijayapuraartinya pasaran Wijaya.

Pemerintahan dinasti Úrì Kåûóa Kapakisan di Bali membawa tradisi yang berlaku di Majapahit. Kitab Nàgarakåtàgama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang berlaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Úrì Kåûóa Kapakisan.
Salah satu contoh terlihat dalam sebutan istanaraja bukan lagi disebut karatonmelainkan disebut pura.Kalau di Majapahit kita mengenal istilah Madakaripurayang berarti rumahnya Gajah Mada, maka karaton Dalem di Samprangan disebut Linggarsapura.Karatonnya diGelgel disebut Suwecapuradan karatonnya di Klungkung disebut Smarapura. Rupa-rupanya penggunaan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem di Klungkung di samping juga istilah kahyangan masih dipakai. Dalam hubungan inilalu kata pura yang berarti istana rajaatau rumah pembesar pada waktu itu diganti dengan kata puri.

Pada periode pemerintahan Dalem Baturenggong di Gelgel (1460 – I 550 M ) datanglah Dang Hyang Nirartha di Bali pada Tahun 1489 M adalah untuk mengabadikan dan menyempumakan kehidupan agama Hindu di Bali. Beliau pada waktu itu menemui keadaan yang kabur sebagai akibat terjadinya peralihan paham keagamaan dari paham-paham keagamaan sebelum Mpu Kuturan ke paham-paham keagamaan yang diajarkan olch Mpu Kuturan yakni: antara pemujaan dewa dengan pemujaan roh leluhur, sehingga dikenal adanya pura untuk dewa dan pura untak roh suci leluhur yang sulit dibedakan secara fisik(Ardana, 1988:20).

Demikian pula bentuk-bentuk palinggih, ada meru dan gedong untuk dewa dan meru dan gedong untuk roh suci leluhur. Terdapat juga kekaburan di bidang tingkat atap meru, misalnya ada meru untuk roh suci leluhur bertingkat 7 dan meru untuk dewa bertingkat 3. Hal ini secara fisik sulit untuk dibedakan, walaupun perbedaannya, terdapat pada jenis padagingannya. Hal itulah yang mendorong Dang Hyang Nirartha membuat palinggih berbentuk padmàsanauntuk memuja Hyang Widhi, dan sekaligus membedakan palinggib pemujaan dewa serta roh suci leluhur.
Dalam perkembangan lebih lanjut kata puradigunakan di samping kata kahyanganatau parhyangandcngan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala manifestasinya ) dan bhaþàra atau dewapitara yaitu roh suci leluhur. Kendatipun demikian namun kini masih dijumpai kata pura yang digunakan untuk menamai suatu kota misainya Amlapura atau kota asem (bentuk Sanskertanisasi dari karang asem ).

Meskipun istilah pura sebagai tempat suci berasal dari jaman yang tidak begitu tua, namun tempat pemujaannya sendiri berakar dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang bcrasal dari masa yang amat tua. Pangkalnya adalah kebudayaan Indonesia asli berupa pemujaan terhadap arwah leluhur di samping juga pemujaan terhadap kekuatan alam yang maha besar yang telah dikenalnya pada jaman neolithikum, dan berkembang pada periode megalithikum,sebelum kcbudayaan India datang di Indonesia.

Salah satu tempat pemujaan arwah leluhur pada waktu itu berbentuk punden berundak-undakyang diduga sebagai replika (bentuk tiruan) dari gunung,karena gunung itu dianggap sebagai salah satu tempat dari roh leluhur atau alam arwah. Sistim pemujaan terhadap leluhur tersebut kemudian berkembang bersama-sama dengan berkembangnya kebudayaan Hindu di Indonesia. Perkembangan itu juga mengalami proses akulturasi dan enkulturasi sesuai dengan lingkungan budaya Nusantara.

Kepercayaan terhadap gunung sebagai alam arwah,adalah relevan dengan unsur kebudayaan Hindu yang menganggap gunung (Mahameru ) sebagai alam devatà yang melahirkan konsepsi bahwa gunung selain dianggap sebagai alam arwah juga sebagai alam para dewa. Bahkan dalam proses lebih lanjut setelah melalui tingkatan upacara keagamaan tertentu (upacara penyucian) roh suci leluhurdapat mencapai tempat yang sama dan dipuja bersama-sama dalam satu tempat pemujaan dengan dewa yang lazimnya disebut dengan istilah Àtmàúiddhadevatà.

Lebih lanjut kadang kadang dalam proses itu unsur pemujaan leluhur kelihatan melemah bahkan seolah-olah tampak sebagai terdesak, namun hakekatnya yang essensial bahwa kebudayaan Indonesia asli tetap memegang kepribadiannnya yang pada akhimya unsur pemujaan leluhur tersebut muncul kembali secara menonjol dan kemudian secara pasti tampil dan berkcmbang bersama – sama dengan unsur pemujaan terhadap dewa Penampilannya selalu terlihat pada sistim kepercayaan masyarakat Hindu di Bali yang menempatkan secara bersama sama pemujaan roh leluhur sebagai unsur kcbudayaan Indonesia asli dengan sistcm pemujaan dewa manifcstasinya Hyang Widhi sebagai unsur kcbudayaan Hindu. Pentrapannya antara lain tcrlihat pada konsepsi pura sebagai tempat pemujaan untuk dewa manifestasi Hyang Widhi di samping juga untuk pemujaan roh leluhur yang disebut bhatara. Hal ini membcrikan salah satu pengcrtian bahwa Pura adalah simbul gunung (Mahameru) tempat pemujaan dcwa dan bhaþþàra


Share

print halaman iniPrint halaman ini

Baca Juga Ini





Comments

Silahkan tuliskan komentar atau pertanyaan anda...!!!

Search

Pilih Bahasa

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Berlangganan

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner


subscribe

Komunitas

Blog Info



Free Page Rank Tool
IP
free counters